Sejarah Singkat Singhasari
MASA KEKUASAAN KERAJAAN SINGHASARI
- 1. MASA PEMERINTAHAN KEN AROK
Setelah berhasil membunuh Tunggul Ametung dan mengalahkan Raja
Kertajaya, Ken Arok menobatkan diri menjadi raja yang bergelar Ranggah
Rajasa Sang Amurwabhumi. Dalam menjalankan pemerintahannya, Ken Arok
atau Rajasa Sang Amurwabhumi menempatkan ibukota kerajaan di Kutaraja,
serta memerintah antara tahun 1222 sampai 1227 Masehi. Menurut Mulyana
(1979:91) sebelum dipersunting oleh Ken Arok, Ken Dedes sudah mengandung
anak dari Tunggul Ametung yang diberi nama Anusapati. Sedangkan Ken
Arok dari perkawinannya dengan Ken Dedes memperoleh tiga orang putra dan
seorang putri, yaitu: Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibaya, dan
Dewi Rimbu. Sedangkan dari istri selir yang bernama Ken Umang, juga
memiliki tiga putra dan seorang putri, yaitu: Panji Toh Jaya, Tuan
Wregola, dan Dewi Rambi.
Pada saat Ken Arok atau Rajasa Sang Amurwabhumi menobatkan anaknya
dari Ken Dedes yang bernama Mahisa Wonga Teleng menjadi raja di Kadhiri.
Hal tersebut menimbulkan Anusapati merasa diperlakukan tidak adil, dan
dalam hatinya memberontak. Anusapati beranggapan bahwa seharusnya
dirinya yang memiliki hak besar pertama dalam pewarisan sebuah
kekuasaan, karena merupakan anak yang tertua di antara adik-adiknya yang
lain. Kemudian Anusapati mengeluh pada Ibunya tentang hal tersebut. Ken
Dedes menceritakan bahwa sebenarnya Anusapati bukan anak dari Rajasa
Sang Amurwabhumi, melainkan anak dari Tunggul Ametung yang dibunuh oleh
Rajasa Sang Amurwabhumi pada saat belum lahir. Cerita tersebut
menimbulkan kemarahan yang besar dibenak Anusapati. Kemudian secara
langsung meminta keris Empu Gandring yang pernah digunakan Raja Sang
Amurwabhumi untuk membunuh ayahnya yang pada saat itu masih tersimpan di
dalam Keraton Tumapel atau Singhasari dan Ken Dedes memberikannya.
Dalam membalaskan dendam ayahnya, Anusapati menyuruh orang pengalasan
untuk membunuh Raja Sang Amurwabhumi dengan keris Empu Gandring
tersebut. Setelah berhasil membunuh Sang Raja, pengalasan itu langsung
bergegas lari untuk memberi laporan kepada Anusapati bahwa Sang Raja
telah terbunuh serta mengembaikan keris tersebut. Anusapati sangat
bangga mendengarnya dan segera memberikan hadiah kepada pengalasannya.
Beberapa waktu kemudian, tindakan pengalasan itu telah diketahui oleh
pihak kerajaan, bahwa dirinya yang membunuh Sang Raja Amurwabhumi.
Dengan segera pengalasan itu terkena amuk dan Anusapati juga ikut dalam
amukan itu, kemudian Anusapati membunuh utusan atau pengalasannya
sendiri (Mulyana, 1979:92).
Rajasa Sang Amurwabhumi meninggal pada tahun 1227 Masehi
dan hanya berkuasa di Tumapel atau Singhasari selama lima tahun.
Sepeninggal Rajasa Sang Amurwabhumi kekuasaan dipecah menjadi dua, yakni
kekuasan di Kediri dibawah pimpinan Mahisa Wonga Teleng, dan Kerajaan
Tumapel atau Singhasari dibawah pemerintahan Anusapati.
- 2. MASA PEMERINTAHAN ANUSAPATI
Anusapati memerintah Kerajaan Tumapel atau Singhasari selama dua
puluh tahun, yakni antara tahun 1227 sampai 1248 Masehi. Pada awal
pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Akan tetapi pada tahun
1247 Masehi, anak dari Ken Arok atau Rajasa Sang Amurwabhumi dengan Ken
Umang yang bernama Toh Jaya tidak senang melihat kematian ayahandanya
dan berjanji akan balas demdam. Anusapati dalam hal itu juga sudah
mengetahui dan selalu waspada dengan penjagaan pegawal-pengawalnya. Akan
tetapi, pada suatu hari Toh Jaya mengajak Anusapati bermain sabung
ayam. Dalam pertemuan itu, Toh Jaya berpura-pura meminjam keris Mpu
Gandring kepada Anusapati, dan Anusapati meminjamkannya. Pada saat
pertandingan ayam berlangsung, pandangan Anusapati tertuju pada
perkelahian ayamnya tanpa memperhatikan kewaspadannya terhadap Toh Jaya.
Kesempatan itu digunakan oleh Toh Jaya untuk menghunuskan keris Empu
Gandring yang dipegangnya ke tubuh Anusapati serta menikam sampai mati.
Kematian Anusapati terjadi pada tahun 1248 Masehi. Kemudian jenazahnya
dimuliakan di Candi Kidal (Mulyana, 1979:97).
3. MASA PEMERINTAHAN TOH JAYA
Sepeninggal Anusapati, pada tahun 1248 Masehi, Toh Jaya berhasil naik
tahta menjadi Raja Tumapel atau Singhasari. Akan tetapi, masa
pemerintahannya tidak berjalan lama. Hal ini disebabkan adanya rasa
takut akibat perbuatannya membunuh Anusapati. Toh Jaya beranggapan
adanya tokoh yang akan balas dendam kepadanya. Menurut Mulyana (1979:98)
pada saat upacara penobatannya, Toh Jaya menaruh curiga terhadap Rangga
Wuni dan Mahesa Cempaka. Kemudian dirinya berbisik kepada para menteri
dan abdinya yang bernama Pranaraja. Para menteri dan Pranaraja
memberikan nasehat kepada Toh Jaya bahwa Rangga Wuni dan Mahesa Cempaka
sangat membahayakan bagi pelaksanaan pemerintahannya. Nasihat itu
menimbulkan kemarahan di dalam diri Toh Jaya, sehingga memanggil Lembu
Ampal dan memberinya perintah lewat bisikan supaya membunuh Rangga Wuni
dan Mahesa Cempaka. Dalam perintah tersebut, jika Lembu Ampal tidak
berhasil membunuh mereka, maka nyawanya sendiri yang akan menjadi
taruhannya.
Ternyata bisikan Toh Jaya didengar oleh salah satu pendeta atau Kaum
Brahmana yang juga menghadiri acara penobatan itu. Kemudian pendeta
tersebut menasihati Rangga Wuni dan Mahesa Cempaka untuk bersembunyi di
rumah Panji Patipati. Dalam mencari Rangga Wuni dan Mahesa Cempaka,
Lembu Ampal tidak berhasil menemukannya. Sehingga dirinya tidak berani
menghadap Toh Jaya karena takut akan dibunuhnya. Selanjutnya Lembu Ampal
berbalik memihak Rangga Wuni dan Mahesa Cempaka, serta menceritakan
tentang apa yang sebenarnya akan dilakukannya karena perintahah dari Toh
Jaya. Kemudian Lembu Ampal bersedia mengambil sumpah setia untuk
membuktikan dirinya tidak berkhianat, dan setelah itu dipersilahkan
pulang. Setelah itu hasutan Lembu Ampal menyebabkan perselisihan antara
regu Rajasa dan regu Sinelir. Karena Toh Jaya akan Menghancurkan kedua
belah pihak yang berselisih. Kemudian kepala regu Rajasa dan kepala regu
Sinelir juga mencari Rangga Wuni untuk meminta perlindungan dan
Ranggawuni memberikan nasihat kepada mereka. Pada saat senja,
orang-orang Sinelir maupun Rajasa yang bersenjata lengkap berkumpul
dirumah Panji Patipati. Mereka menyiapkan serangan yang akan dilancarkan
kepada Toh Jaya. Secara serentak mereka langsung menyerbu istana yang
mengakibatkan Toh Jaya lari saat melihat serangan tersebut. Akan tetapi,
Toh Jaya terkena tusukan tombak dan tidak dapat berjalan. Setelah
keributan itu mereda, pengikut-pengikutnya mencari dan mengungsikannya
ke Katang Lumbung dan sampai di Katang Lumbung Toh Jaya meninggal
(Mulyana, 1979:99).
- 4. MASA PEMERINTAHAN WISNUWARDHANA
Setelah selamat dari ancaman Toh Jaya, Rangga Wuni dan Mahesa
Cempaka dinobatkan sebagai penguasa berikutnya. Hubungan mereka berdua
sangat akrab, yang dimulai dari saat bersembunyi karena ancaman Toh Jaya
sampai pada masa pemerintahannya. Kemudian Rangga Wuni pada tahun itu
juga dinobatkan menjadi Raja Tumapel atau Singhasari yang bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Sedangkan Mahesa Cempaka dinobatkan sebagai Ratu Angabhaya(pembantu utama raja) yang bergelar Narasinghamurti.
Kitab Negarakertagama dalam Slamet Mulyana (1979:99-102) menceritakan
bahwa pemerintahan antara Wisnuwardhana dan Narasinghamurti seperti
kerja sama antara Dewa Wisnu dan Dewa Indra. Selain itu, Panji Patipati
yang pernah menyelamatkan mereka dari ancaman Toh Jaya diangkat menjadi Dharmadikarana
atau hakim tertinggi dalam kerajaan. Hubungan baik antara Panji
Patipati dengan Wisnuwardhana dan Narasinghamurti dapat berlangsung baik
sampai keturunan mereka. Wisnuwardhana mempunyai seorang anak hasil
pernikahannya dengan Permaisuri Waning Hyun yang bernama Kertanegara.
Pada tahun 1255 Masehi, Wisnuwardhana masih memerintah di Tumapel
sebagai raja agung yang menguasai wilayah Jenggala dan Panjalu.
Sedangkan Kertanegara pada tahun 1254 Masehi dinobatkan oleh ayahnya
sebagai raja mahkota yang memimpin raja-raja bawahan dan memerintah di
Daha atau Kadhiri, serta mengambil nama Abhiseka Sri Kertanegara. Pada penobatan itu, Ibukota Kutaraja baru berganti nama menjadi Singhasari.
Pada tahun 1268 Masehi, Raja Wisnuwardhana meninggal dan
dimuliakan di Candi Jago. Kemudian pemerintahan dilanjutkan oleh
Kertanegara yang pada tahun 1270 Masehi naik tahta menjadi raja agung
dan memerintah seperti ayahnya, serta menguasai wilayah Singhasari dan
Kadhiri.
- 5. MASA PEMERINTAHAN KERTANEGARA
Setelah berhasil naik tahta pada tahun 1270 Masehi, dalam
politiknya Raja Kertanegara memiliki cita-cita memperluas kekuasaannya
yang meliputi daerah-daerah di sekitar Kerajaan Singhasari. Langkah
pertama yang dilakukannya yaitu menyingkirkan tokoh-tokoh yang mungkin
menentang atau menjadi penghalang. Pada saat itu juga terjadi penurunan
jabatan dari pembesar-pembesar kerajaan yang menjabat sejak pemerintahan
Raja Wisnuwardhana. Karena Prabu Kertanegara ingin segera mengadakan
perubahan secara besar-besaran dalam bidang administrasi maupun kegiatan
politik ekspansinya. Pejabat yang telah lama mengabdi di kerajaan tidak
dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang dijalankan oleh Raja
Kertanegara. Hal ini menyebabkan kegelisahan antara para pegawai
kerajaan dan rakyat serta menimbulkan kemarahan yang besar kepada mereka
yang diturunkan jabatannya. Mereka yang diturunkan jabatannya antara
lain: patihnya sendiri yang bernama Kebo Arema atau Raganatha diganti
dengan Kebo Tengah atau Aragani. Sedangkan Raganatha dijadikan Adhyaksa
atau penasihat raja di Tumapel. Kemudian orang yang kurang dapat
dipercaya karena terlalu dekat dengan Kadhiri yang bernama Banak Wide,
dijauhkan dengan diberi jabatan sebagai bupati di Sumenep (Madura)
dengan gelar Arya Wiraraja. Kemudian terjadi sebuah pemberontakan yang
bernama kelana bhayangkara atau cayaraja. Meski pemberontakan
itu dapat ditumpas, namun sangat menghambat pelaksanaan gagasan politik
yang dijalankan oleh Kertanegara. Karena dalam pengiriman pasukan ke
seberang lautan harus tuntas dulu masalah yang terjadi di dalam negeri
(Mulyana, 1979:103-104).
Raja Kertanegara tak pernah mendengarkan nasihat dari Raganatha bahwa
ekspedisi Pamalayu yang dilaksanakannya itu akan hanya membawa petaka
untuk dirinya dan kerajaan. Raja Kertanegara tetap bersikukuh untuk
mengirimkan pasukan ke Sumatra. Setelah lima tahun pecahnya
pemberontakan tersebut, baru pada tahun 1275 Masehi Raja Kertanegara
mengembangkan sayapnya ke Sumatra Tengah dengan mengirimkan pasukan ke
sana yang berlangsung sampai tahun 1292 Masehi yang dikenal dengan nama
ekspedisi Pamalayu. Hal ini menunjukkan karena yang ingin dikuasai
adalah Sumatra tengah pasti kerajaan yang akan ditaklukkan adalah
Sriwijaya. Pada ekspedisi Pamalayu, Kertanegara berhasil melemahkan
Sriwijaya dan menguasai tanah Melayu. Pengiriman pasukan Singhasari ke Swarnabhumi
atau Sumatra hanya bertujuan supaya Raja Mauliwarmadewa yang bersemayam
di Dharmasraya yang berpusat di Jambi dan juga penguasa selat Malaka
dapat tunduk begitu saja kepada Raja Kertanegara.
Hasil ekspedisi Pamalayu dapat diketahui dari prasasti yang
dipahatkan di alas arca Amoghapaca yang didapat dari Sungai Langsat
(daerah hulu Batanghari dekat Sijunjung). Soekmono (1973:64-65)
menyimpulkan:
pada prasasti itu diterangkan bahwa dalam tahun 1286, atas perintah
Maharajadhiraja Sri Kertanegara Wikrama Dharmattunggadewa sejumlah arca
Amoghapaca beserta 13 pengikutnya (seperti arca di Candi Jago)
dipindahkan dari Bhumi Jawa ke Swarnabhumi (nama Sumatra dulu).
Penempatan acra di Darmasraya itu dilakukan dibawah suatu panitia yang
terdiri dari 4 orang pegawai tinggi, dan atas hadiah itu rakyat Melayu
sangat bergirang hati, terutama rajanya yang bernama Srimat
Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa.
Negarakertagama dalam Soekmono (1973:65-66) dapat diketahui bahwa
pada tahun 1284 Masehi wilayah Bali dapat ditaklukkan oleh Raja
Kertanegara. Wilayah lain yang juga ditaklukkan meliputi: Pahang, Sunda,
Bakulapura (Kalimantan Barat Daya), dan Gurun (Maluku). Termasuk
wilayah yang berada dalam lingkungan Kerajaan Singhasari. Selain itu,
Raja Kertanegara juga mengadakan hubungan politik dengan penguasa dari
Kerajaan Campa di Kamboja yang bernama Raja Simhawarman III, di mana
Raja Simhawarman III mempunyai dua orang istri. Seorang diantaranya
adalah adik dari Raja Kertanegara yang bernama Tapasi. Karena menurut
Prasasti Po Sah(di Hindia Belakang), Tapasi berasal dari Jawa. Pada saat
Kerajaan Campa diserang oleh Kerajaan Annam, Tapasi melarikan diri ke
Jawa.
Ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Raja Kertanegara tak selamanya
berdampak baik. Keruntuhan Kerajaan Singhasari di bawah pemerintahan
Raja Kertanegara disebabkan penguasa lebih memperhatikan politik luar
negerinya, yaitu dalam ekspedisi Pamalayu dan menaklukkan
wilayah-wilayah di Nusantara. Sehingga Raja Kertanegara tidak tahu
adanya serangan musuh dari belakang. Kejadian dengan Tiongkok dan
perginya pasukan Singhasari ke Sumatra yang sampai sekian lama belum
kembali dimanfaatkan oleh mantan pembesar-pembesar Kerajaan Singhasari
yang dulu diturunkan atau dipecat dari jabatannya. Mereka memanfaatkan
situasi dan kondisi ini untuk melampiaskan kemarahannya.
Ternyata apa yang pernah menjadi nasihat dari Raganatha telah
terjadi. Slamet Mulyana (1979:105-107) Pada saat itu mantan pegawai
bernama Wiraraja mengirimkan surat kepada raja bawahan Singhasari yang
berkuasa di Kediri bernama Jayakatwang untuk menggulingkan kekuasaan
Kertanegara. Jayakatwang sebenarnya adalah kemenakan Raja Seminingrat,
jadi masih saudara sepupu dari Kertanegara. Sedangkan Wiraraja adalah
mantan pejabat Singhasari yang pada saat itu diberi kekuasaan oleh
Kertanegara menjadi bupati di Sumenep (Madura). Surat Wiraraja itu
berisi,
bahwa Singhasari dalam keadaan kosong, dan tidak ada lagi orang yang
bisa diandalkan, Raganatha adalah satu-satunya pembesar tetapi Ia sudah
tua-renta. Meski demikian Prabu Kertanegara segan untuk menyadari hal
itu. Selain itu, Prabu Kertanegara juga segan untuk mengakui kekuasaan
Kaisar Kubilai Khan dengan mencacat dahi seorang utusan kaisar dari
Tiongkok itu yang bernama Meng Khi, setelah itu disuruhnya pulang.
Setelah membaca surat dari Wiraraja, Jayakatwang bertanya kepada
utusan pembawa surat itu yang bernama Wirondaya tentang kondisi kerajaan
Singhasari, maka Wirondana menjawabnya: ”Bahwa semua rakyat keberatan
dengan pemerintahan Kertanegara, dan semua pegawai istana digantikan
dengan tokoh-tokoh baru, sekaligus nasihat dari Raganatha tidak pernah
didengarkan oleh Kertanegara.” Kemudian Jayakatwang menanyakan
pendapat kepada Patih Mahisa Mundarang, dan kemudian dijawabnya: “Bahwa
pendahulu hamba yang bernama Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya binasa
atas pemberontakan pendiri Kerajaan Singhasari yang bergelar Raja
Rajasa. Prabu Kertajaya beserta bala tentaranya musnah karena tindakan
Ken Arok. Maka hamba minta padukalah yang mempunyai kewajiban membangun
kembali kerajaan Kediri dan membalas kekalahan Prabu Kertajaya.”
Setelah membaca surat dari Wiraraja serta nasihat dari Wirondaya dan
Patih Mahisa Mundarang. Pada tahun 1292 Masehi, atas nasehat tersebut
meletuslah sebuah serangan yang dilancarkan oleh Jayakatwang terhadap
Singhasari yang berasal dari dua jalur yang berlawanan, yakni melalui
jalan utara tentara Jayakatwang meski tidak begitu kuat, tetapi mereka
mengacau sepanjang jalan dan menimbulkan kegaduhan di daerah Ibukota
Kerajaan Singhasari. Sedangkan melalui jalan selatan pasukan induk
bergerak secara diam-diam. Prabu Kertanegara mengira serangan hanya
datang dari utara saja, Maka hanya mengerahkan kedua menantunya yang
bernama Raden Wijaya dan Arddharaja. Arddharaja adalah anak kandung dari
Jayakatwang. Jadi antara Kertanegara dan Jayakatwang sebenarnya
hubungannya adalah besan. Dengan mengirimkan kedua menantunya itu,
pasukan Kediri yang menyerang dari sebelah utara berhasil dipukul mundur
dan terus dikejar. Akan tetapi, pasukan yang bergerak dan menyerang
dari selatan berhasil masuk ke dalam kota dan keraton Singhasari untuk
melakukan serangan, sehingga Raja Kertanegara beserta mantan patihnya
yang bernama Raganatha dan pendeta-pendeta terkemuka yang sedang
mengadakan upacara Tantayana di halaman Candi Singhasari, semuanya ikut
terbunuh dalam serangan tersebut.
Dari keterangan di atas bagian terpenting adalah Nama
Singhasari ternyata baru digunakan pada saat Sri Kertanagara di angkat
sebagai Raja Bawahan(Yuwaraja) di wilayah Kadhiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar