Jumat, 02 November 2012

sejarah dan arsitektur bangunan masjid setono gedong

Sejarah Perkembangan Islam di wilayah Kediri



SEJARAH DAN ARSITEKTUR BANGUNAN MASJID SETONO GEDONG
  1. 1.      Perjalanan Sejarah Kota Kediri pada abad XIII-XVI Masehi
A.  Wilayah Kediri Pada Masa Hindu-Budha
Kerajaan Kadhiri masa kekuasaan Raja Srẽngga atau Krtajaya yang bertahta pada tahun 1116 Saka atau 1194 Masehi.Pada masa ini, Kadhiri atau yang sekarang menjadi Kediri masih merupakan kerajaan yang berdiri sendiri(otonom) dengan Ibukotanya bernama Daha yang terletak di Katang-katang. Para Samya Haji Katandan Sakapat karena telah berhasil mengembalikan Raja ke atas Singgasananya di Bhumi Kadhiri, setelah sebelumnya terpaksa meninggalkan istananya di Katang-katang karena serangan musuh dari Kerajaan Purwa yang berasal dari Timur.”(Soemadio, Ed,. Dalam Juma’in, 112). Berdasarkanpenjelasan tersebut letak Daha hingga berakhirnya kekuasaan Kerajaan Kadhiri sebagai Ibukota Kerajaan berada di wilayah Katang-katang. Nama toponimi dari wilayah ini sekarang merujuk pada nama Dusun Katang di Desa Sumberejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, yang berada di sebelah timur sungai Brantas. Pada tahun 1222 MasehiKrtajaya berhasil dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah mengalami keruntuhan, maka secara resmi wilayah Daha menjadi Kerajaan Bawahan atau Vassal dari Kerajaan Singhasari, dan letak ibukotanya berada di daerah Kota Kediri sekarang yang tepatnya di wilayah Singonegaran Kota Kediri sekarang. Wilayak Kediri pada masa Kerajaan Singhasari menjadi kerajaan bawahannya pada tahun 1248-1268 Masehi. Setelah kekuasaan Krtajaya dapat ditaklukkan oleh Ken Arok, letak ibukota kerajaan Daha dipindahkan ke Singanagara(Singonegaran). Pemindahan tersebut saat Kerajaan Singhasari, diperintah oleh Ranggawuni yang bergelar Wisnuwardhana yang diberikan tahta di Tumapel dan Mahesa Campaka bergelar Narasinghamurtiyang bertahta di Daha(Kadhiri). Meskipun telah dijabat oleh dua orang raja dalam satu pemerintahan, akan tetapi tetap menunjukkan keharmonisan. Menurut isi dari Prasasti Mula Malurung, disebutkan bahwa Wisnuwardhana membuat bangunan suci bernama”Narasingharăjya”yang artinya sebuah keraton yang didirikan untuk menjalankan pemerintahan seorang raja. Pembuatan bangunan tersebut diberikan untuk Mahesa Campaka. Menurut Bosch, terdapat sebuah Prasasti yang sekarang tersimpan di museum Frank Frud Am Main di Jerman memberitakan tentang”Bhattara ring Singhanagara”, maksudnya seorang raja yang bertahta di suatu tempat bernama Singhanagara. Sebutan “Singhanagara” menunjuk pada Narasinghamurti yang merupakan gelar dari Mahesa Campaka seperti yang sudah dijelaskan di atas. Karena nama “Singhanagara” pada masa sekarang menunjuk pada sebuah nama tempat atau toponimi dari Kelurahan Singonegaran, yang terletak di selatan tiga kilo meter dari situs atau Masjid Setono Gedong sekarang. Jadi Setono Gedong pada msa lalu adalah candi negara atau candi kerajaan yangberfungsi dari sebagai simbol kekuatan magis dari kerajaan bawahan Singhasaripada masa pemerintahan Mahesa Campaka di Daha(Kadhiri). Fungsi candi sebagai pendarmaan hanya pada Agama Hindu, sedangkan dalam Agama Budha hanya sebagai tempat pemujaan kepada Dewa. Akan tetapi, situs Setono Gedong bukan sebagai tempat pendarmaan bagi Mahesa Campaka, karena menurut Kitab Nagarakertagama tempat pendarmaannya di Kumeper sebagai Siwa Mahadewa dan di Wengker.
Berdasarkan pernyataan di atas, situs Setono Gedong pada masa lalu sebagai tempat pemujaan kepada Dewa Wisnu. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Artefak(benda buatan manusia) yang berupa lapik arca berelief Garudeya(Garuda) yang merupakan sebuah burung tunggangan atau wahana dari Dewa Wisnu yang diatasnya ditambah lagi dengan Padmasana berelief bunga teratai ganda sebagai lambang kesucian, dan kebangkitan sesudah mati. Menurut Suwardono(2004:2) teratai dalam filosofi Hindu maupun Budha adalah bunga yang erat hubungannya dengan penciptaan dewa-dewa dunia, lambang khayangan sebagai tempat yang digunakan untuk duduk atau berdiri oleh Para Dewa. Karena bunga teratai sebagai lambang penciptaan dari adi kodrati. Dari penjelasan mengenai lapik garuda yang di atasnya ditambah dengan lapik teratai ganda, maka dapat dipastikan yang berdiri di atas lapik itu adalah arca Dewa Wisnu sebagai dewa pelindung dan pemelihara. Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa Mahesa Campaka menganut sekte atau aliran Waisnawa(Pengagung Dewa Wisnu). Karena mengikuti aliran dari ayahnya yaitu Mahesa Wonga Teleng yang juga pernah bertahta di Kadhiri(Daha) yang pada waktu itu konsep penyatuan kepercayaan atau sinkretisme dari Agama Hindu dan Budha yang disebut aliran Tantrayana sudah berlangsung. Maka candi yang berada pada situs Setono Gedong bukan sebagai Candi Hindu karena bukan berfungsi sebagai tempat pendarmaan, akan tetapi lebih tepatnya sebagai Candi Budha aliran Tantrayana karena berfungsi sebagai pemujaan kepada Dewa, meskipun Dewa Hindu yaitu Wisnu yang diagungkan (Soekmono dalam Jima’in, 2010:157).. Kemudian anak Wisnuwardhana yang bernama Kertanagara sebelum dinaikkan tahtanya di Singhasaripada tahun 1292 Masehi, sudah dijadikan penguasa di wilayah Kadhiri(Daha) pada tahun 1254 Masehi. Pada saat Kertanegara dinaikkan tahtanya menjadi Raja Singhasari, yang menjadi raja bawahan Singhasari di Kadhiri adalah Jayakatwang yang akhirnya tahun 1292 menyerang dan berhasilmengalahkan Kerajaan Singhasari(Mulyana, 1979:102).
Fungsi situs Setono Gedong sebagai bangunan suci candi kerajaan(Narasinghanagara atau Narasingharăjya) tetap berlanjut sampai pada masa Majapahit (1293-1527). Kehancuran Kerajaan Singhasari sebagai kerajaan otonom karena serangan dari raja bawahannya yang bertahta di Kadhiri(Daha) yang bernama Jayakatwang. Akan tetapi kemenangan tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1293 Masehi mendapat serangan balasan dari Raden Wijaya yang masing memiliki hubungan dengan Raja Kertanegara. Raden Wijaya setelah mengalahkan Jayakatwang mendirikan Kerajaan baru dengan nama Majapahit. Anak Raden Wijaya yang bernama Jayanagara sebelum dinaikkan tahtanya menjadi Raja di Kerajaan Majapahit, terlebih dahulu ditempatkan menjadi penguasa atau raja bawahan di Kadhiri(Daha). Setelah Jayanagara dinaikkan tahtanya menjadi Raja di Majapahit, seorang tokoh yang pada akhirnya membawa kejayaan bagi majapahit yang bernama Gajah Mada diangkat menjadi patih di Kadhiri(Daha) setelah berhasil mengalahkan pemberontakan Kuti yang sangat membahayakan bagi Prabu Jayanagara pada tahun 1319 Masehi. Sepeninggal Prabu Jayanagara setelah menjadi Raja Majapahit, penggantinya adalah Tribhuanotunggadewi Jayawisnuwardhana sebagai Raja di Majapahit. Sedangkan di Kadhiri(Daha) diperintah oleh Raja Dewi Maharajasa yang masih saudara kandung dari Tribhuanotunggadewi(Juma’in, 2010:117). Sampai menjelang akhir masa kejayaan Majapahit, wilayah Kediri yang dahulu bernama Kadhiri atau Daha masih merupakan wilayah penting yang digunakan sebagai tempat untuk menjalankan tahta Kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Girindrawardhana Dyah Rana Wijaya dengan patihnya yang bernama Patih Udara. Pemindahan pusat pemerintahan Majapahit dari Trowulan ke Daha(Kadhiri) karena terjadi serangan dari Bhre Kertabhumi yang pada akhirnya juga dapat dikalahkan pada tahun 1478 M. Akan tetapi, letak tahta Majapahit di wilayah Kediri belum dapat diketahui dengan pasti. Karena kurangnya sumber-sumber data sejarah yang berkaitan dengan hal tersebut. Meskipun begitu, yang jelas Ibukota Majapahit sudah berpindah ke Daha atau Kadhiri saat terjadi serangan tentara Islam dari Kerajaan Demak (Juma’in, 2010:119).
Kemudian pada saat terjadi perebutan kekuasaan oleh keluarga raja-raja Majapahit, yaitu antara Kertabhumi dan Girindrawardhana pada situasi yang kacau itu juga mempengaruhi kehidupan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Akibat dari melemahnya perekonomian rakyat pada saat itu maka banyak pedagang-pedagang muslim yang diantaranya adalah mubalig-mubalig, tinggal dan berdiam di perkampungan-perkampungan. Karena tinggal di perkampungan maka terjadilah sebuah proses interaksi atau hubungan sosial dengan masyarakat lokal. Agama Islam dapat diterima oleh masyarakat Nusantaradengan baik karena syarat untuk masuknya mudah dan tidak mengenal perbedaan golongan berdasarkan sistem kasta seperti pada Agama Hindu(Poesponegoro, 1984:178-179).
B.  Kadhiri pada masa Perkembangan Islam
Sebelumnya sudah dibahas tentang kemenangan Girindrawardhana atas Bhre Kertabhumi pada tahun 1478 M, yang dapat melanjutkan tahtanya kembali dengan memindahkan tahtanya di Daha(Kadhiri). Pada dua puluh tahun pertama abad XVI, terjadi serangan tentara Islam Demak yang dipimpin secara beruntun oleh dua imam kerajaan. Dua serangan utama dipimpin oleh Imam Demak keempat yang bernama Rahmatullah(Sunan Ngudung), akan tetapi hasilnya gagal. Sedangkan Imam tersebut terbunuh pada serangan kedua. Kemudian serangan ketiga dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Djakfar al-Shodiq(Sunan Kudus), telah memimpin langsung pada penyerangan tahun 1524  tersebut dan berhasil merebut Ibukota Kerajaan Majapahit di Daha(Kadhiri). Pada kemenangannya, Sunan Kudus membangun sebuah “Monumen Peringatan” untuk mengenang jasa-jasa ayahnya yang gugur dalam serangan kedua. Monumen tersebut bukan berarti sebagai makam dari Rahmatullah(Sunan Ngudung), karena menurut Hikayat Hasanudin dimakamkan di dekat Masjid Demak. Sehingga yang dimakamkan Setono Gedong adalah sesuatu yang melambangkannya, seperti aksesoris yang selalu dikenakan olehnya. Akan tetapi  lebih tepatnya monumen itu dijadikan lambang kemenangan tentara Islam Demak yang atas tentara Majapahit. Monumen peringatan tersebut berupa sebuah inskripsi tertulis menggunakan huruf arab yang terpahat pada Makam Syeh Wasil Syamsudin, isinya adalah
”Ini makam Imam yang sempurna, seorang alim mulia, dan syekh yang saleh, yang menghafal Kitab Allah yang Maha Tinggi, yang paling menyempurnakan Syariat Nabi Allah-semoga Allah memberikan rahmat dan keselamatan kepadanya-Al Syafi’i Mazhabnya, Al-Abarkuhi(?).......Al-Baharajni(?) nisbahnya. Dialah Mahkota(?) (Pelita?) putusan(para Hakim)(?), dan Matahari................Sembilan ratus(?)dua puluh(?).......hijrah nabi.......”

(Guillot dan Kallus dalam Juma’in, 2010:108)
Dalam terjemahan dari inskripsi makam Syeh Wasil Syamsudin di atas telah memberikan petunjuk tentang masuknya Islam di wilayah Kediri melalui seorang tokoh yang digambarkan seperti matahari. Akan tetapi dalam terjemahan yang diberi titik-titik panjang dan tanda tanya merupakan huruf arab yang sudah tidak dapat dibaca dengan jelas karena berada disitu sudah lama sehingga sekarang menjadi kusam atau aus. Pembacaan angka tahun pada isi inskripsi di atas kurang jelas, maka untuk menentukannya dengan patokan antara 920-929 Hijriah. Apabila dijadikan masehi menjadi 1514-1523 M. Jadi itulah yang dapat digunakan sebagai patokan penentuan tahun diresmikannya inskripsi pada makam Syeh Wasil Syamsudin tersebut.
Pada perkembangan Islam di Kediri, hal-hal berkaitan dengan Agama Hindu maupun Budha semuanya dihancurkan karena dianggap musyrik yang akan membawa dampak pada kekafiran. Menurut Juma’in (2010:175) pengrusakan candi pada Situs Setono Gedong beserta isinya karena adanya faktor politik dari ekspansi Kerajaan Demak ke Ibukota Majapahit yang berada di Kediri pada dua puluh tahun pertama abad XVI. Alasan tersebut didukung lagi oleh kepentingan para penguasa Islam yang berada di Kediri pada waktu itu. Pengrusakan pada situs Setono Gedong terjadi lagi pada tahun 1815 M. Hal ini berdasarkan sumber data sejarah yang ditulis oleh Thomas Staford Raffles dari hasil laporan perjalanannya di Nusantara pada waktu itu, yang kemudian pada tahun 1817 di buku-kan dengan judul”History of Java.” Dalam buku tersebut pada halaman 380 menyebutkan Informasi tentang Setono Gedong yang berisi:
Disekitar Ibukota Kediri kaya akan benda-benda kuno dalam berbagai bentuk, tetapi yang ditemukan di sana masih dalam keadan yang baik daripada yang ditemukan di tempat lain, dengan biaya yang besar dan tenaga yang dikerahkan untuk membongkar bangunan dan untuk memotong patung yang ada di sana. Pada semua bagian situs di bangunan utama itu dapat saya temukan fragmen-fragmen yang tertutup pahatan relief, recha-recha yang rusak dan umumnya dipahat di atas batu yang dipotong membujur, dikerjakan saat membangun candi-candi, di samping bagian dasar yang sangat luas dari batu bata kemudian dinding bangunannya. Lebih jauh saya menduga dari keteraturan dan keelaganan bahan-bahan yang digunakan bahwa bahan dan bangunan yang dibangun hampir di seluruh bangunan ini di bongkar oleh penganut Mohamet pada periode perkembangan ajaran tersebut. Candi ini disebut Astana Gedong, tetapi tidak ada penduduk yang memberikan informasi saat pembangunan bangunan ini, seperti hanya asal ajaran Mohamet, saya hanya mempunyai sedikit pandangan mengenai hal itu untuk menghindari ketidaksesuaian gerakan dengan penduduk setempat yang ditunjukkan sebagai pendekata dari ketaatan mereka, dan hal ini merupakan keadaan yang sangat sesuai bagi orang penjajah yang bebas untuk bergerak tanpa adanya gangguan. Semua benda-benda kuno ini tidak diragukan lagi berasal pada periode sebelum munculnya agama Mohamet, atau dari apa yang oleh penduduk setempat disebut sebagai wong kuno, kapir atau buda.”
(Raffles dalam Juma’in, 2010:121)
Berdasarkan sumber yang ditulis oleh Raffles di atas, dapat disimpulkan adanya pengerusakan kedua pada tahun 1815 setelah ekspansi Demak yang berlangsung pada dua puluh tahun pertama abad XVI. Maka pada masa itulah mulai terjadi lanjutan masa peralihan dari Hindu-Budha ke Islam. Raffles menyebut bangunan situs Setono Gedong adalah candi, karena terdapat bagian yang luas terbuat dari batu bata, terdapat dinding bangunan, terdapat fragmen-fragmen relief, terdapat recha-recha(arca-arca) yang rusak dan dipahatkan pada potongan batu membujur(Juma’in, 2010:122). Dimungkinkan juga pada ekspansi Demak pengerusakan pada situs Setono Gedong tidak begitu parah, atau bisa juga hanya menimbun artefak-artefak dari bangunan masa Hindu-Budha tersebut ke dalam tanah. Akan tetapi yang terjadi pada tahun 1815 jauh lebih parah karena sumber yang ditulis oleh Raffles menyebutkan adanya pengerahan biaya dan tenaga yang besar untuk menghancurkan situs Astana (Setono) Gedong oleh Penganut Mohamet. Yang dimaksudkan penganut Mohamet tidak lain adalah penganut ajaran Nabi Muhammad yaitu Umat Islam di Kediri pada waktu itu. Selanjutnya pada kurang lebih tahun 1897 M, di halaman situs Setono Gedong telah dijadikan tempat ibadah oleh penduduk setempat yang beragama Islam, dengan hanya masih beralaskan tanah. Mungkin anggapan penduduk setempat tentang Masjid Tiban yang dahulu pernah digunakan menunjuk pada masjid yang beralaskan tanah ini. Karena nama “Tiban” sekarang menunjuk pada sumur tua di sebelah utara situs. Akan tetapi pada tahun 1967 M baru dibangun masjid di di depannya atau di sebelah timurnya dengan nama Masjid Auliya’ Setono Gedong. Pada saat itu juga baru disertifikatkan tanah negara tersebut bebagai bangunan masjid hingga sekarang (Dikutip dari http://kotatahuku.blogspot.com/2009/06/wisata-religi-setono-gedong.html. Diakses 12 April 2011 pukul 19.45 WIB).


Berdasarkan perjalanan sejarahnya mulai abad XIII-XVI peran wilayah Kediri sebagai kerajaan bawahan(Vassal) sangat penting sebagai pelatihan calon pemimpin besar Kerajaan Singhasari hingga Majapahit. Bahkan sampai menjelang akhir kekuasaan Majapahit, Kediri dijadikan Ibukota Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Girindrawardhana wangsa sebelum terjadinya ekspansi Demak. Sedangkan pada tahun 1897, situs Setono Gedong masih berupa masjid yang berada di atas tanah. Karena dibangun menjadi sebuah bangunan masjid baru tahun 1967. Hal ini mengingatkan pada hakekat adanya masjid yang sebenarnya hanya sebidang tanah di permukaan bumi ini yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk beribadah bagi orang muslim.

  1. 2.    Masa Peralihan Agama Pada Masyarakat Kediri
Daerah Kediri pada masa lalu memiliki peranan yang sangat penting menjadi pusat suatu kerajaan baik yang berdiri sendiri(otonom), yaitu pada masa Kerajaan Kadhiri, maupun menjadi kerajaan bawahan(Vassal) pada masa Kerajaan Singhasari sampai Majapahit. Peranan penting tersebut juga masih terlihat pada masa terjadinya transisi kepercayaan dari Hindu-Budha ke masa perkembangan Islam, atau disebut dengan masa peralihan(Juma’in, 2010:111-112).
Masa peralihan adalah suatu periode dalam perjalanan sejarah masyarakat Nusantara yang ditandai dengan terjadinya transisi kebudayaan dari zaman Hindu-Budha ke Islam secara resmi(Damais dalam Juma’in, 2010:25). Masa peralihan terjadi sekitar abad XIV-XVI Masehi. Meskipun sebenarnya bila dilihat dari peninggalan yang paling tua, Agama Islam sudah masuk ke Jawa sekitar abad XI-XII Masehi dengan dibuktikan adanya kosa kata dalam Kitab Bharatayudha, Gatotkacasraya, dan Prasasti Panumbangan yang sejaman dengan pemerintahan Raja Jayabaya dari Kerajaan Kadhiri(1135-1157). Penyebab lambatnya perkembangan Islam pada saat itu adalah masih kuatnya pengaruh dari Kerajaan Hindu-Budha yang antara lain, masa Wangsa Isyana(Mpu Sindok), masa Airlangga, Jenggala dan Kadhiri pada kurun waktu abad XI-awal abad XIII Masehi, serta dilanjutkan masa Singhasaridan Majapahit pada abad XIII-XV Masehi. Pada saat keruntuhan Majapahit inilah mulai muncul kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa, yang salah satunya adalah Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa dan didirikan oleh keturunan Majapahit yang bernama Raden Patah.
Ciri-ciri umum adanya Masa Peralihan yaitu dengan adanya:
  1. Arsitektur masjid dan makam yang masih menunjukkan gaya dari masa Hindu-Budha. Seperti penggunaan atap tumpang pada bangunan Masjid Jawa dan pembuatan bangunan bercungkup atau berkubah pada makam orang yang dianggap sakral.
  2. Ragam hias pada dinding masjid dan makam, seperti relief bersayap yang melambangkan kelepasan, pintu masjid atau makam yang berbentuk paduraksa atau bentar dengan ukiran-ukiran bunga teratai yang dalam Agama Hindu maupun Budha sebagai lambang surgawi dankebangkitan sesudah mati(Hoop dalam Juma’in, 2010:31). Selain itu juga bunga matahari sebagai lambang penerangan dan ketangguhan, dan pola hias tanaman menjalar sebagai ornamen tambahan.
  3. Seni hias kaligrafi Islam, yaitu tulisan-tulisan dengan memakai arab yang ditulis pada dinding masjid maupun makam yang menunjukkan gaya seni(Juma’in, 2010:25-33).

  1. 3.      Gaya Arsitektur Masjid Setono Gedong
Letak halaman Masjid maupun makamnya biasa
ya terbagi manjadi tiga bagian yang semakin ke belakang semakin suci. Ketiga halaman itu juga merupakan hasil akulturasi dari pembuatan halaman candi di tanah mendatar yang mengandung makna kaki, lereng, dan puncak gunung,karena umat Hindu Jawa pada masa lalu dalam membuat seni bangun berlandaskan pada bentuk Gunung Himalaya sebagai gunung yang disucikan di India. Begitu juga dengan Masjid Setono Gedong yang juga memiliki tiga halaman,  halaman pertama yang sekarang adalah masjid Induk, kedua adalah pendopo yang dibangun di atas reruntuhan Candi Hindu dan di keliling. Sedangkan pada halaman terakhir adalah Makam Syeh Wasil Syamsudin(Juma’in, 2010:27). Hiasan masjid makam memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai fungsi teknis dan fungsi dekoratif. Sebagai fungsi teknis, hiasan pada masjid-makam berkaitan dengan kegunaan praktis atau sebagai teknis bangunan. Sedangkan fungsi dekoratif, pada dinding masjid-makam digunakan untuk memperindah bangunan. Selain itu juga menyimpan pesan dan media untuk memenuhi tujuan religi-magis. Misalnya ukir-ukiran teratai, daun-daunan, dan lain-lain(Mustopo dalam Juma’in, 2010:28).

3.1.Pintu Gerbang Jalan Menuju Masjid Setono Gedong
Pintu gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong dibuat pada tahun 2002 dengan gaya kombinasi antara seni tradional dan modern. Gaya tradisional tampak pada hiasan yang memakai modif daun-daunan berjumlah tiga serta atasnya ditambah dengan modif bunga matahari pada masing-masing bagian sisi kanan dan kiri gapura. Sedangkan pada bagian atas gapura terdapat arca Garudeya(Garuda) dengan membawa sebuah kendi di atas kepalanya. Pembuatan gapura luar ini ternyata sedikit mengadopsi dari ukir-ukiran maupun relief kuno kuno yang terdapat pada masjid-makam Syeh Wasil Syamsudin. Paling menarik dari pintu gerbang jalan menuju Masjid-Makam Setono Gedong adalah adanya arca Garuda membawa sebuah kendi, dan di bagian belakang kepalanya juga di tambah relief berupa kepala rajawali. Hal tersebut dapat dipahami, bahwa masyarakat yang menyusun konsep pembuatan gapura tersebut percaya bahwa burung rajawali adalah personifikasi dari Garuda. Meskipun arca tersebut adalah hanya sebagai pelengkap bangunan gapura luar dan hasil pesanan dari pemahat arca modern, akan tetapi Burung Garudeya(Garuda) dalam dalam filosofi Hindu mengandung makna keberanian, kegagahan, dan pengorbanan. Karena di dalam filosofis tersebut, Garudeya diceritakan memiliki sifat rela berkorban sampai menuruti syarat kakak ular untuk mencuri air suci (Amertha) milik para Dewa-Dewa Hindu demi menyelamatkan ibundanya bernama Winata yang ditawan oleh Dewi Kadru sebagai ibu dari ular-ular jahat, sampai rela mengorak-ngabrik khayangan demi mendapatkan air suci (Amertha) yang diminta oleh kepada kakak ular untuk menebus Ibunya. Kemudian Dewa Wisnu berhasil merebut Amertha kembali dari tangan ular ketika Garuda telah berhasil membawa kabur ibunya dari istana ular. Akan tetapi pada akhirnya dia menjaditunggangan atau wahana dari Dewa Wisnu seperti apa yang telah dijanjikannya sebelum membawa Amertha ke Istana Ular.Dari cerita di atas, Arca tiruan(Tunulad) dari Garuda(Garudeya) yang diletakkan di atas gapura jalan Masjid Setono Gedong ternyata secara tidak langsung memiliki arti pengorbanan, karena digambarkan Garuda membawa sebuah kendi yang sebenarnya itu bukan bentuk dari guci amertha yang sesungguhnya seperti pada relief Candi Kidal-Malang. Akan tetapi, hal tersebut sebagai bukti bahwa masyarakat di sekitar masjid tersebut ternyata juga mengetahui dan memahami dari filosofis cerita Garuda(Garudeya) yang sebenarnya. Menurut Soekmono (1973:58) lambang dari Kerajaan Kadhiri yang terakhir sebagai kerajaan otonom pada masa pemerintahan Prabu Krtajaya(Dandang Gendis) sebelum di hancurkan oleh Ken Arok menggunakan lencana negara berupa Garudhamuka, seperti yang digambarkan pada gapura luar masjid tersebut. Masyarakat Setono Gedong dalampemesanan arca tinulad tersebut dapat juga terinspirasi dari tinggalan arkeologis yang sekarang diletakkan di sebelah timur pendopo barat belakang masjid yang berupa relief garuda di masing-masing sisi sebuah bekas lapik arca Dewa Wisnu. Selain itu burung garuda sudah tidak asing lagi diketahui oleh masyarakat kediri pada umumnya secara turun temurun, karena gambar burung tersebut sampai sekarang juga menjadi lambang dari Pemerintahan Kota Kediri. kemudian masyarakat mengambil bentuk dari  arca tinulad yang terdapat di depan Museum Airlangga-Kota Kediri dengan menyempurnakannya dengan membawa sebuah kendi yang disamakan samakan guci amertha seperti konsep sebenarnya yang ada di Candi Kidal-Malang. Sedangkan kendi amertha tersebut dapat dimaknai sebagai lambang kesucian. Jadi dapat disimpulkan, lambang Garuda pada gerbang jalan menuju Masjid Setono Gedong oleh masyarakat sekitar dilambangkan sifat dari Syeh Wasil Syamsudin yang dalam mitosnya beliau penuh pengorbanan dan semangat telah menyebarkan Agama Islam yang dianggap suci oleh penganutnya.Makna lain digunakannya lambang tersebut pada gapura luar dan juga sebagai lambang Pemerintahan Kota Kediri sekarang ini adalah bentuk inspirasi untuk mengembalikan lagi kejayaan di masa lalu.
Bunga matahari pada bagian sisi depan gapura sebagai lambang penerangan dan ketangguhan. Hal ini juga didukung dari arti kata”Syamsudin” pada nama Penyebar Islam pertama di Kediri tersebut, yang berasal dari kata “Syam” dalam bahasa arab berarti matahari.
            Pintu gerbang masjid yang disebut gapura, oleh ulama Islam pada perkembangannya disamakan dengan kata “ghafur” artinya yang memberi ampun sekaligus juga bermakna pertobatan, permohonan ampun. Hal ini menunjukkan bahwa gapura masjid sebagai pintu tobat bagi setiap manusia yang telah menyadari akan dosa-dosanya. Karena Allah SWT dalam salah satu nama-nama sucinya(Asma’ul Husnah) disebutkan sebagai Al-Ghaffar yang berarti Maha Pengampun.(Dikutip dari: http://islamjawa.wordpress.com/2011/02/28/simbol-tarekat-dalam-arsitektur-masjid-jawa/3april 2011).
3.2.Pintu Gerbang Utama Masuk ke Lingkungan dan serambi Masjid Setono Gedong
Masjid Setono Gedong bila dilihat dari sisi luar tampak seperti bangunan kuil cina atau masyarakat Kediri menyebutnya Klenteng. Keunikan tersebut karena atapnya berbentuk seperti pagoda dan pintu masuknya seperti pintu masuk Kuil Cina.Hal tersebut terjadi karena Kelurahan Setono Gedong berada di tengah pusat pertokoan milik etnis Cina. Selain itu juga didukung adanya sebuah kelurahan yang bernama Pocanan yang berada di sebelah utara Masjid Setono Gedong. Menurut Hutami (2010) wilayah Kelurahan Pocanan dahulu adalah sebuah tanah persil atau sima milik seorang bangsa Cina kaya bernama Po Cang An pada masa Kediri Kuno. Akan tetapi belum dapat diketehui lebih jauh lagi tentang Po Cang Ankarena kurangnya sumber-sumber data sejarah. Meski begitu, etnis Tionghoa sudah lama sekali mendiami wilayah Pocanan ke selatan sampai di sekitar Area Masjid Setono Gedong. Karena di sebelah barat Masjid Setono Gedong juga masih terdapat bekas-bekas toko milik orang Cina yang sudah lama tidak terpakai. Sedangkan Bangunan Masjid Setono Gedong baru dibangun pada tahun 1967, yang sebelum dibangun berupa bangunan masjid, kurang lebih tahun 1897 M di halaman situs Setono Gedong telah dijadikan tempat ibadah oleh penduduk setempat yang beragama Islam, dengan hanya masih beralaskan tanah. Mungkin anggapan penduduk setempat tentang Masjid Tiban yang dahulu pernah digunakan menunjuk pada masjid yang beralaskan tanah ini. Karena nama “Tiban” sekarang menunjuk pada nama sumur tua di sebelah utara teras pendopo. Pada saat sebelum berbentuk bangunan masjid, kemungkinan umat muslim cina yang tinggal di sekitar masjid juga ikut beribadah bersama masyarakat Kelurahan Setono Gedong. Maka dari itu muncul sikap interaksi sosial yang kuat sehingga menimbulkan rasa solodaritas yang tinggi. Sehingga pada saat pembangunan masjid tidak hanya menggunakan arsitektur  tipe Jawa saja, melainkan berbentuk perpaduan budaya dari bangsa Tionghoa dan masyarakat Setono Gedong.







Pernyataan di atas dapat disimpulkan dengan adanya bentuk arsitektur kuil cina pada Masjid Setono Gedong  sebagai bukti pada masa lalu bahwa  masyarakat Kelurahan Setono Gedong dan para Etnis keturunan Cina/Tiongkok yang beragama telah hidup rukun dan damai.Karena Masjid Setono Gedong pada masa lalu tidak hanya digunakan oleh umat Islam setempat saja, tetapi juga umat Islam bangsa Tionghoa dan bangsa-bangsa lain pada umumnya. Rasa solidaritas dan kerukunan tersebut juga dibuktikan dengan bentuk bangunan utama, yaitu bangunan masjid berarsitektur cina dan bangunan pendopo beratap tumpang tingkat tiga dan dipuncaknya terdapat mustaka yang merupakan ciri khas bangunan jawa, sekarang berada di belakang Masjid Setono Gedong.
Bangunan pintu masuk area masjid memiliki bentuk yang sangat unik, karena meskipun dibuat dengan gaya modern masih memperlihatkan sedikit unsur tradisional. Karena pada bagian atas pintu gerbang tersebut dibuat cekung di tengah yang bentuknya menyerupai batu nisan makam kaum perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pembuatan pintu gerbang ini, masyarakat setempat terinspirasi dari seni arsitektur pada batu nisan yang ada di makam belakang masjid.Masjid Setono Gedong memiliki serambi yang cukup luas. Tiang-tiang penyangga pada serambi masjid ini masing-masing dihiasi tulisan lafal “Allah” di bagian ujungnya. Selain itu di tembok serambi atau di atas pintu masuk ruang utama masjid terdapat ukiran-ukiran menggunakan huruf arab yang membentang dari selatan hingga utara serambi. Hiasan ukiran memanjang dan ramai pada dinding serambi tersebut mengingatkan kita pada tulisan-tulisan huruf cina yang berupa mantra yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan ditempatkan di dinding kuil-kuil Cina. Hal ini sangat memiliki arti kesamaan dalam tujuan pembuatannya, karena tulisan arab berupa aya-ayat suci Al-Qur’an yang di ukir pada dinding serambi masjid terebut tidak hanya dibuat sebagai hiasan saja tetapi juga dipercaya dapat mengusir roh jahat yang mengganggu manusia untuk beribadah.
Pada bagian pojok timur laut serambi terdapat satu kentongan berposisi vertikal yang berlasdaskan kayu menyilang dan satu kentongan yang digantung berjajar dengan bedug. Pada kentongan yang ditempatkan dalam posisi tergantung terdapat ukiran tanggal dibuatnya yaitu 17 April 1986, maka sekarang usia dari kentongan tersebut sudah 25 tahun.Pada saat masuknya waktu sholat, sebelum menyerukan adzan terlebih dahulu mengumpulkan orang-orang dengan cara memukul kentongan atau pun bedug. Kedua alat ini merupakan benda yang tradisional untuk memberikan tanda-tanda kepada masyarakat melalui media suara berdasarkan kode-kode tertentu. Sedangkan bedug, pada umumnya terbuat dari sebatang pohon yang dikeruk, dengan rentangan kulit kerbau atau sapi pada satu atau kedua sisinya. Bedug hampir mirip dengan alat musik jawa yang disebut dengan gendang, akan tetapi yang membedalan adalah bagian sisinya. Karena kendang pada bagian sisi nya dibuat dalam ukuran yang berbeda, sedangkan bedug kedua sisinya dibuat sama. Menurut Amen Budiman dalam Iim Mulyana(2010) mengatakan bahwa asal usul dari bedug yang diletakkan pada serambi-serambi mesjid Jawa itu merupakan pengaruh dari arsitektur Cina, yang mana bedugpada serambi kelenteng diletakkan tergantung.
Selain waktu salat, pukulan bedug juga menandai awal dan akhir puasa, serta hari raya haji. Jadi pengaruh arsitektur cina bangunan Masjid Setono Gedong dapat terlihat pada pintu gerbang utama masjid, penempatan gaya ukiran memanjang di atas pintu masuk masjid, dan posisi bedug yang digantung pada bagian serambi.


Ini perkembangan Islam di Kediri. kalau masuknya Islam di Kediri samapai saat ini sumber datanya masih dangkal. ada pendapat pada masa Jayabaya yaitu sekitar permulaan abad XII. tapi ini juga masih dalam perhitungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar